Bangkit dari Kegagalan

Suatu hari saya menghentikan bacaan saya pada bagian tiga cara bangkit dari kegagalan. Saat ini saya sedang tidak mengalami kegagalan, namun apa yang saya baca ini adalah pengingat diri saya agar memiliki pengetahuan dan keterampilan jika suatu saat saya merasa gagal atau mengalami kegagalan.

Saya mencoba membayangkan perasaan apa yang dominan muncul saat saya gagal. Bayangan kata TERTEKAN menjadi perasaan yang saya pikir akan terjadi pada diri saya. Lalu bagaimana mengurai rasa tertekan dan bangkit dari perasaan tersebut?

Dari buku yang berjudul Komunikasi bebas konflik ini, disebutkan, ada tiga cara yang dapat kita lakukan. Cara-cara tersebut antara lain :

  • Mengakui. Saat gagal, tentu saja rasa tertekan akan mendominasi perasaan kita. Kita akan bolak-balik bertanya, minimal di dalam hati, kenapa saya bisa gagal, kenapa saya memilih melakukan sesuatu yang ternyata bisa membuat saya gagal, atau segudang kalimat yang berisi penyesalan yang berlarut-larut. Padahal, meskipun penyesalan adalah hal lumrah bahkan bisa saja penting untuk kita rasakan, namun apa yang terjadi sudah tidak bisa kita ubah kembali. Saat mengalami hal di atas yang harus kita lakukan adalah mengakui emosi yang kita rasakan. Diri kita seharusnya mengakui terlebih dahulu apa yang terjadi. Menurut buku ini, kita perlu melakukan pengakuan terhadap perasaan yang disebut sebagai fase "kematian emosi". Di saat ini kita hanya diminta mengakui emosi-emosi negatif dan membiarkan emosi itu mengalami kematian. Saya baru memahami, ternyata tidak ada baik dan buruk dalam emosi. Merasa tertekan atau bahkan terpuruk ternyata bukanlah hal yang salah atau pun hal buruk. Ternyata itu hanyalah pancaran perasaan kita yang seharusnya kita terima.
  • Jangan mengajukan pertanyaan "KENAPA" di saat kita gagal, karena hal tersebut tidaklah baik. Nah ini yang terkadang ada di kepala saya kalau saya gagal melakukan sesuatu. Kenapa ya saya tadi tidak melakukan itu, kenapa ini ya yang saya pilih dan pertanyaan retoris sejenis yang mengisi pikiran saya. Bahasan buku ini menarik bagi saya saat ada bagian dari buku ini yang mengingatkan, "tidak ada orang yang sengaja gagal". Jadi, saat gagal, ketika kita menyalahkan diri atau bertanya mengapa dan terus kita mengalami kegagalan, pada saat itu tidak akan menghasilkan apa-apa. Lebih baik jika kita tetap berpikir logis, konstruktif dengan memikirkan dan menanyakan pada diri kita, "HOW". Misalnya dengan bertanya "Bagaimana agar pada kesempatan berikutnya saya bisa mencegah agar saya tidak gagal kembali?
  • Dalam hidup hanya ada berhasil atau belajar. Wah ini bagian yang tentunya akan membuat pilihan untuk bangkit adalah pilihan yang cerdas dan mendorong kita untuk segera bangkit dari keterpurukan. Saat kita gagal, hal penting yang harus kita lakukan adalah bagaimana diri kita memahami apa yang telah terjadi. Fakta yang kita hadapi hanya ada satu, tapi ada dua cara untuk memahami fakta tersebut, positif dan negatif. Jadi setelah fakta terjadi maka hal itu tidak dapat kita ubah. Namun, pemaknaan terhadap kejadian yang menghasilkan fakta bisa diubah. "Kegagalan adalah pembelajaran"

"Kegagalan mengasah kemampuan mental kita untuk terus berjuang dan optimis dalam melangkah."

Pada umumnya kebanyakan dari kita selalu merasa takut gagal karena stigma atau penilaian yang akan diterima jika tidak mampu terlihat berhasil di mata orang lain. Kegagalan seakan menjadi hal yang paling menakutkan untuk dijalani apabila tidak dapat mencapai apa yang dituju sehingga membuat setiap usaha yang dilakukan terasa sia-sia belaka. 

Perasaan putus asa dan ingin menyerah mungkin lumrah kita temukan saat menghadapi kegagalan, tapi menghindari masalah alih-alih menghadapinya justru malah akan membuat kegagalan berhasil menghancurkan kita. 

Tidak pernah ada kesuksesan jika sebelumnya tidak merasakan kegagalan terlebih dahulu karena proses yang diajarkan dalam sebuah kegagalan merupakan pelajaran berharga untuk memandang serta menjalani kehidupan dengan cara yang lebih bijak lagi. Perasaan putus asa dan ingin menyerah mungkin lumrah kita temukan saat menghadapi kegagalan, tapi menghindari masalah alih-alih menghadapinya justru malah akan membuat kegagalan berhasil menghancurkan kita. 

Bangkit dari Kegagalan ala Mark Manson Kegagalan akan selalu mewarnai usaha setiap insan, tak terkecuali orang terkenal dan berpengaruh sekalipun, salah satunya seperti blogger dan penulis buku terlaris versi New York Times dan Globe and Mail, Mark Manson. Siapa yang menyangka jika penulis buku Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat ini juga pernah mengalami masa sulit dan kegagalan dalam hidupnya. Mark Manson justru memaknai kegagalan dalam hidupnya sebagai sebuah keberuntungan karena lewat masalah yang timbul dirinya mampu menemukan jalan untuk maju. Ketika lulus perguruan tinggi pada tahun 2007, saat itu bertepatan pula dengan jatuhnya keuangan Amerika Serikat beserta Resesi Besar yang terjadi.

Bisa dibayangkan, bagaimana Manson akan memasuki persaingan dunia kerja paling menyeramkan selama 80 tahun terakhir. Saat itu malah Manson harus tidur di sofa temannya sambil mengerjakan beberapa pekerjaan sambilan sebelum menemukan pekerjaan sungguhan yang mampu membiayai kehidupannya. Akan tetapi, Manson malah memandang kegagalannya dalam memasuki dunia kerja sebagai suatu keberuntungan.

Pasalnya, dia dapat membangun kariernya dari nol untuk secara perlahan-lahan belajar memperbaiki kehidupannya menjadi jauh lebih baik lagi. Kegagalan sendiri merupakan sebuah konsep yang relatif tergantung dari cara setiap orang dalam melihatnya. Maka ketika kita gagal dalam melakukan atau mengerjakan sesuatu belum tentu hal tersebut menjadi sebuah kegagalan yang menghancurkan kehidupan jika kita dapat mengubah perspektif akan kegagalan tersebut sebagai sebuah jalan menuju kesuksesan.

Bangkit dari Kegagalan dan Rasa Takut Tidak dapat dipungkiri, ketakutan yang kita rasakan akan kegagalan memang sudah ditanamkan sejak dini melalui sistem pendidikan yang menilai dengan ketat menurut kinerja dan memberi hukuman kepada siapa saja yang tidak memiliki hasil yang baik. Hal ini tentu saja menciptakan insting untuk bertahan dengan cara menghindari kegagalan, yang bahwasanya kegagalan justru merupakan proses kehidupan untuk menuju kehidupan yang lebih maju. Tidak hanya sistem pendidikan, peran orang tua dalam membentuk ketakutan akan kegagalan pun cukup besar. Biasanya orang tua akan memaksa dan gemar memberi kritikan supaya anak tidak banyak merasakan kegagalan.

Biasanya orang tua akan memaksa dan gemar memberi kritikan supaya anak tidak banyak merasakan kegagalan. Sebaliknya orang tua justru malah menghukum anak mereka yang mencoba berbagai hal baru atau yang tidak sesuai dengan pandangan mereka. Maka dari itu, jangan pernah merasa takut akan kegagalan karena kegagalan merupakan bagian dari kesuksesan yang akan membuat kita menjadi lebih menghargai proses dan usaha.




Komentar

Postingan Populer

Tentang Olfactory dan Gustatory

Juma Lau, Tempat Wisata Asri Dekat dari Medan

Serunya Belajar Mind Mapping