Stop Flexing, hidup ga perlu seheboh itu.

Lagi heboh kasus ASN atau istri ASN pamer kemewahan hidup. Pamer ini yang biasa disebut flexing. Flexing adalah istilah yang digunakan untuk pamer kekayaan. Namun kamu sadar ga sih, sebenarnya bukan karena kasus ASN atau Istri ASN saja yang menandakan flexing marak terjadi di tengah masyarakat. Profesor Rhenald Kasali dalam youtube nya pernah membahas flexing ini dengan judul Inilah Kaya Boong-boongan yang Dipamerkan & Dipercaya Milenial dan Ditiru Luas

Saat ini keberadaan media sosial menjadi bagian yang tidak terpisah dari keseharian masyarakat. Hal ini juga turut membuat Flexing semakin mudah dilihat dan ditiru oleh masyarakat. Saat ini kita bisa melihat berbagai tindakan yang memamerkan banyak hal, bahkan seperti sulit untuk tidak flexing ketika kita memiliki sesuatu untuk dipamerkan.

Sementara menurut Cambridge Dictionary, flexing adalah menunjukkan sesuatu yang Anda miliki atau raih tetapi dengan cara yang dianggap oleh orang lain tidak menyenangkan. Berdasarkan kamus Merriam-Webster, flexing adalah memamerkan sesuatu atau yang dimiliki secara mencolok.  Contoh flexing adalah seorang influencer yang flexing tas buatan desainer atau kemewahan lainnya di media sosial. 

Asal mula kata flexing dirangkum dari laman Dictionary.com, asal mula munculnya arti kata flexing adalah bahasa gaul dari kalangan ras kulit hitam untuk "menunjukkan keberanian" atau "pamer" sejak tahun 1990-an.  

Rapper Ice Cube secara khusus menggunakannya dalam lagunya tahun 1992 berjudul It Was a Good Day dengan liriknya Saw the police and they rolled right past me / No flexing’, didn’t even look in a n*gga’s direction as I ran the intersection. Selain itu, asal kata "flex" atau flexing adalah melenturkan otot seseorang, yaitu untuk menunjukkan seberapa kuat fisik seseorang dan seberapa siap seseorang bertarung. Hal ini menjadi metafora arti flexing adalah mereka berpikir lebih baik dari yang lainnya.  

Hukum Selanjutnya, kata "flex" atau flexing menjadi populer pada tahun 2014 berkat No Flex Zone dari Rae Sremmurd yang berarti area untuk orang-orang yang santai, bersikap seperti dirinya sendiri, dan tidak pamer atau pura-pura menjadi pribadi yang berbeda. 

Saat ini, orang yang flexing adalah dianggap suka berbohong memiliki banyak kekayaan meski realitanya tidak.  Banyak yang berpendapat bahwa kata flexing adalah orang yang palsu, memalsukan, atau memaksakan gaya agar diterima dalam pergaulan. 

Sekali lagi, kata Renald Kasali "Orang kaya yang sesungguhnya tidak ingin menjadi pusat perhatian. Biasanya, kalau semakin kaya orang-orang justru semakin menghendaki privasi, tidak ingin jadi pusat perhatian," tuturnya. 

Oleh karena itu, flexing justru, menurutnya, bukan orang kaya yang sesungguhnya.  Bahkan, jika benar-benar tujuannya untuk menarik perhatian, flexing bisa jadi hanya menjadi strategi marketing. Walau pun tidak selalu strategi marketing begitu. Namun kita memang bisa mengingat beberapa peristiwa yang berhubungan dengan marketing yang bertujuan untuk meyakinkan customer sehingga tertarik untuk menitipkan uangnya, membeli produk dan seterusnya.

Ada juga artis yang suka memamerkan saldo rekening, sehingga banyak fans yang melihat artis tersebut sangat kaya. Rhenald mencontohkan kasus Firs* Trav** yang sempat heboh beberapa tahun lalu. Si pemilik bisnis sekaligus pelaku sebelumnya sangat sering memamerkan kekayaannya di media sosial.  Semua itu dilakukan juga agar para target pelanggan percaya untuk menggunakan jasa Firs* Trav**. Sebab, terkadang orang menaruh kepercayaan pada seseorang hanya karena melihat kekayaannya.  

Tidak sampai pada pembahasan kaya boong-boongan saja, Renald kasali juga membahas Flexing 2.0: Gelombang Disrupsi Keluarga Pejabat jika di atas yang melakukan kebanyakan adalah orang yang tidak kaya, saat ini ternyata flexing juga dilakukan oleh orang yang kaya beneran. Lebih parahnya dalam contohnya dibahas juga bagaimana orang tua yang pejabat yang tidak diketahui mengambil kekayaan dari negara, namun karena anaknya suka memamerkan kekayaan malah apa yang dilakukan oleh orang tuanya jadi ketahuan. 

Pembahasan flexing 2.0 menjadi pengingat bagi kita orang tua agar hati-hati mendidik buah hati kita. "Reasonable itu lebih baik dari pada Rational", hal ini menarik perhatian saya. Sebagai orang tua kita harus membiasakan anak untuk memiliki rasa tanggung jawab atas apa yang dilakukannya, bahkan lebih mendasar lagi, orangtua mampu mendidik anak untuk jujur dan bersikap apa adanya.

Hidup dengan aman dan nyaman tentu menjadi keinginan banyak orang. Tidak ada salahnya kita menggunakan hasil jerih payah kita, gaji atau pendapatan kita untuk membeli apa yang kita butuhkan dan inginkan. Namun jangan berlebihan dan jangan suka memamerkan. Fenomena saat ini bahkan memamerkan apa yang dimiliki malah dibuat sebagai konten, yang tidak semua nyata seperti yang diduga oleh masyarakat awam. 

Di masa modern kini mudah sekali ditemukan flexing atau pamer kekayaan di media sosial. Fenomena flexing ini juga menyasar dunia anak anak kita yang mulai menggunakan sosial media. 

Anak-anak yang tidak didampingi, tidak diberikan edukasi tentang bagaimana hidup jujur dan berlaku apa adanya, lebih mudah mengikuti idolanya yang bisa saja melakukan pamer kekayaan. Melihat hal ini anak bisa saja juga suka pamer kepada teman temannya dan seakan akan tidak mau kalah dari temannya tersebut.

Dan suka memamerkan apa yang dimiliki, mempunyai dampak yang serius jika dibiarkan, flexing akan menjadi kebiasaan yang tidak baik untuk anak.

Kita harus berhati-hati dengan anak yang suka memamerkan apa yang dimiliki, karena bisa jadi hal itu disebabkan oleh beberapa hal. Yuk simak alasan mengapa anak melakukan flexing :

1. Kemungkinan anak kurang percaya diri

Anak yang melakukan flexing bisa saja karena anak kurang percaya diri. Anak yang melakukan flexing berupaya agar dirinya lebih baik dari yang orang lainnya. Anak bisa pamer atas keberhasilan mereka yang tentu akan membuat dirinya merasa lebih baik dan membuat orang lain merasa kurang lebih baik darinya. 

2. Anak belum menemukan dunianya

Mungkin anak merasa belum bisa menjadi yang terbaik. Sehingga, mungkin anak berpikir bisa menjadi yang terbaik di antara temannya sehingga dia bisa melakukan flexing untuk menarik perhatian teman-temannya. Pada usia eksplorasi hubungan sosial anak cenderung menginginkan lingkungan menerimanya, anak ingin dianggap penting namun tidak tahu bagaimana caranya. 

3. Anak berpikir dengan memamerkan sesuatu, hal itu bisa membuat orang lain menyukainya.

Anak belum memahami bahwa sikap pamer merupakan sikap yang tidak baik. Dalam hal mendapatkan teman dan bisa disukai, anak tidak menyadari bahwa sikap pamer akan membuat dirinya dijauhi, bahkan tidak memiliki teman. 

4. Anak meniru anggota keluarga yang berbuat sama

Anak adalah peniru ulung. Anak cenderung meniru sikap orang terdekat di sekitar mereka. Jika dalam sebuah keluarga ada anggota keluarga yang suka pamer maka kemungkinan besar anak akan mencontoh perilaku tersebut karena anak masih dalam proses belajar. 

Orang tua memegang peranan penting dalam proses pembelajaran anak, bagaimana orang tua mampu menjadi teladan dan membentuk kepribadian jujur dan apa adanya yang berpengaruh terhadap sikap anak di masa mendatang.

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh orang tua untuk mengajarkan agar anak tidak suka melakukan flexing :

1. Yuk jadi contoh bagi anak, jangan jadi orang tua yang suka pamer.

Sebelum lebih jauh  membahas dan mencegah anak agar jangan suka pamer, yuk kita cek bersama apakah sebagai orang tua kita sudah mencontohkan hidup yang tidak suka memamerkan apa yang kita miliki, apa yang kita peroleh untuk dipamerkan di sosial media yang kita miliki.

Orang tua bisa mencontohkan kepada anak, ada hal yang cukup menjadi konsumsi pribadi atau keluarga saja. Anak anak melihat bagaimana orang tua bahagia tanpa harus memposting secara berlebihan apa yang dimiliki ke sosial media. Ada waktu yang dihabiskan bersama keluarga tanpa diganggu oleh gadget atau dunia online.

2. Menghindari hedonisme

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hedonisme pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup. Hedonisme artinya seringkali dikaitkan dengan berfoya-foya

Orang tua dapat mengedukasi dan memberi contoh kepada anak untuk tidak berfoya-foya, sombong, senantiasa bersyukur dan menerima orang lain karena kebaikan dan tidak meremehkan orang lain karena tidak setara dengan dia. 

Orang tua juga bisa mengajarkan anak untuk terbiasa berusaha sendiri dalam mendapatkan hal yang dibutuhkannya. Memenuhi apa yang dibutuhkan sebelum apa yang diinginkan. Orang tua dapat melatih anak untuk berjuang memperoleh kebutuhannya dan keinginan anak.

3. Mengurangi standar hidup tinggi

Melihat sosial media yang sering memamerkan bergaya hidup dengan standar yang tinggi bisa mempengaruhi anak. Orang tua bisa memberikan pandangan bahwa "ada orang lain yang tidak seberuntung anak" yang bisa memiliki benda yang bisa dibeli dengan harga mahal.

Orang tua bisa menumbuhkan pemikiran kepada anak bahwa masih banyak orang lain di luar sana yang tidak seberuntung anak kita sehingga anak bisa selalu bersyukur dan tumbuh dengan sikap positif. Pemikiran ini sering dilatihkan dengan cara membangun diskusi pada anak sesuai dengan usia anak. 

4. Menumbuhkan empati anak pada orang lain yang membutuhkan bantuan anak.

Melatih empati pada anak sehingga anak bisa melihat kondisi orang lain yang berada di bawah mereka adalah hal yang bisa dilakukan oleh orang tua. Masih banyak orang lain yang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup apalagi untuk bergaya dan untuk pamer. Membiasakan anak untuk menolong sesama jika memiliki kelebihan baik dari segi finansial atau pun kemampuan diri, bisa menjadi latihan kebiasaan baik pada anak agar empati diri tumbuh.

Melihat masih banyak orang lain yang membutuhkan bantuan akan mendorong anak untuk lebih berpikir lagi jika ingin melakukan pamer gaya hidup. Orang tua bisa mengajak anak untuk melatih sikap empati, anak bisa lebih menghargai orang lain dan tidak memposting hal hal yang terkesan "pamer" di sosial media. 

5. Orang yang paling berguna adalah orang yang bisa bermanfaat bagi orang lain dan lingkungannya.

Saat ini banyak metode pembelajaran yang dilakukan oleh orang tua dalam mendidik anak. Salah satunya dengan mendongeng. Orang tua bisa mendongengkan anak tentang bagaimana menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain, ada banyak orang yang akan berbahagia jika dibantu dan rasa bahagia itu tidak bisa dibeli dengan uang, namun kita bisa menggunakan uang kita untuk membahagiakan orang lain. 

Orang tua bisa melatih anak memiliki tujuan hidup yang lebih baik dari sekedar pamer-pameran kekayaan yang mungkin dilihat oleh anak di sosial media semata dan belum tentu kebenarannya. Orang tua harus berupaya agar anak menjadi sebaik-baiknya manusia yang mampu bermanfaat bagi orang lain dan lingkungan. Stop flexing, hidup ga perlu seheboh itu!.

 “Sebaik Baik Manusia Adalah Yang Paling Bermanfaat Bagi Orang Lain.” 

 

Komentar

Postingan Populer

Tentang Olfactory dan Gustatory

Juma Lau, Tempat Wisata Asri Dekat dari Medan

Serunya Belajar Mind Mapping